Halo sobat blogger dimanapun dan dengan siapapun. Pada
kangen aku ngepost blog nggak nih? Apa kangen? Iya aku juga kangen buat berbagi
cerita sama kalian semua mumumu *Abaikan jika kalian merasa jijik*
Oke kali ini aku mau ngepost tulisan yang agak lebih
berbobot dari sebelumnya. Biasanya kan aku sering ceritanya tentang curhatan
pribadi, cerita masa masa kehidupan dan lainnya yang ngga jauh dari hal
pribadi. Sekarang aku mau nyoba buat lebih terbuka *brb lepas baju dan celana*
*oke ini juga bisa di abaikan*
Yap, kali ini aku mau ngepost tentang keprihatinanku
terhadap salah satu moda transportasi yang sangat fenomenal dan membudaya di
sebagian besar kota di Indonesia. Yap, BECAK. Jadi mungkin becak itu merupakan
air yang masih menggenang di pinggir pinggir jalan kalo abis hujan...
Becak.... |
Oh bukan becak yang itu yang pengen tak bahas, tapi becak
yang ini
Becak Darah |
Eh salah, ini seriusan kalo yang ini. Buat kalian yang belum
tau becak itu apa, ini tak kasih penampakan becak yang sesungguhnya..
Becak yang beneran, yang roda tiga lho bukan yang menjulang tinggi |
Keprihatinanku bermula ketika aku tak sengaja melihat sebuah
becak yang sedang membawa penumpang lewat didepanku ketika aku lagi makan
sendiri (iya sendiri) di sebuah rumah makan sederhana tapi bukan rumah makan padang
di Jalan Kaliurang. Lalu tak sengaja terbesit dalam pikiran
“Oiya ya kok di kota Jogjakarta jarang ada becak ya, padahal
kan ini kota yang cukup erat dengan budaya?”
“Kok becak di Jogja Cuma ada di Malioboro doang ya dan
beberapa didepan hotel gede doang?”
Lalu setelah selesai makan, aku bergegas pergi dengan maksud
pengen mencari tau kenapa becak di Jogja terbilang sangat jarang di temukan di
jalan jalan kota. Tapi ketika aku mau pergi, ada seseorang memanggilku dengan
lirih dari belakang. SERAM!
“Mas, belum bayar makannya, bayar dulu mas!” Ternyata itu
suara ibu yang jaga rumah makannya. Yauda aku bayar dulu terus baru bergegas
mencari tau pertanyaan pertanyaan sederhana yang timbul di pikrianku
Aku berkeliling kota Jogja sendiri (Iya beneran sendiri kok)
dengan kuda putih kesayangan, yang stripingnya warna pink. Rutenya dari Jalan
Kaliurang, muter ke lingkungan UGM terus ke arah Tugu Jogja, Stasiun Tugu,
Malioboro, Taman Pintar, JEC, Amplaz, Jalan Gejayan, UNY, terus balik lagi ke
kampus UGM. Dari hasil survey singkat itu bisa tak ambil beberapa kesimpulan
- Becak ternyata rodanya tiga. Dan ngga punya ban
serep!
- Sekitar kampus UGM aku Cuma menemukan 1 becak
yang lagi mangkal di depan gedung PAU
- Becak sebagian besar mangkalnya di depan hotel
dan di sepanjang malioboro. Dengan sebagian besar yang menaiki transportasi
sederhana ini adalah para wisatawan mancanegara.
- Banyak becak yang sekarang sudah menggunakan
mesin motor sebagai tenaga penggeraknya, jadi sudah ngga murni tenaga manusia
lagi. Meskipun masih ada beberapa yang masih ngayuh pedal untuk mengendarai
becak, dan biasanya yang masih ngayuh itu bapak bapak yang sudah sangat tua :’)
- Ketika lagi dari Taman Pintar ke arah JEC, tidak
menemukan becak sama sekali. Dalam konteks ini berarti becak tidak mangkal di
daerah selain tempat wisata.
Mungkin itu doang sih beberapa fakta yang bisa tak ambil
dari hasil survey singkat ku. Terus aku juga iseng nanya ke temen temen soal
pendapat mereka tentang becak di Jogjakarta. Maaf untuk nama di samarkan,
soalnya aku ngga mau mereka nanti lebih eksis dari aku, jadi nama mereka tak
ganti dengan tulisan “TEMENNYA OJAN”
“Becak? Ngapain naik
becak, sekarang kan udah ada motor, lagian kalo naik becak mahal banget. Kalo
naik motor malah lebih hemat banget. So buat apa naik becak?” –Temennya Ojan yang pertama, 19 Tahun,
Mahasiswa UGM, Jogjakarta-
“Kadang ngerasa kasian
sih ngeliat bapak bapak yang ngayuh becak, udah cukup sepuh tapi tetep masih
mau kerja, padahal pendapatannya ngga nentu,” – Temennya Ojan yang kedua,
19 Tahun, Mahasiswa UGM, Semarang-
“Sebuah dilematis yang
teramat sangat, ketika zaman telah berubah dan di isi oleh kendaraan kendaraan
yang semakin memudahkan, justru keberadaan becak menjadi imbas dari semua
kemajuan tersebut. Miris sebenernya, tapi memang yang tradisional lama kelamaan
pasti akan hilang seiring perkembangan zaman” – Temennya Ojan yang ke tiga,
20 Tahun, Mahasiswa UGM, Jogjakarta-
Yak dari pernyataan pernyataan singkat temen temenku di
atas, dapat kita lihat bahwa tidak selamanya perkembangan teknologi (dalam hal
ini kendaraan) itu bagus untuk semua orang. Pasti, akan ada yang merugi seiring
dengan perkembangan zaman. Untuk topik pembicaraan ini, yang tereliminasi dari
kehidupan masyarakat adalah keberadaan becak yang semakin lama semakin
berkurang. Perlu di ketahui di Jogjakarta sendiri dahulu, becak merupakan
sarana transportasi yang sangat sering di gunakan masyarakat.
Seiring dengan
kemunculan kendaraan kendaraan dengan dasarnya mesin, kejayaan becak mulai
terusik. Memang perkembangan transportasi semakin memudahkan masyarakat dalam
mengunjungi tempat lain. Namun sekali lagi, tak selamanya perkembangan itu
selalu membawa dampak yang positif bagi masyarakat. Salah satunya dampak bagi
para pengendara becak yang semakin lama keberadaannya semakin sedikit, padahal
dengan mengendara becak (mungkin), mereka mencari nafkah. Miris! Tapi ini lah
hidup, dimana jika ada sesuatu yang lebih baik dan lebih memudahkan, pasti
itulah yang akan di pilih
Faktanya bahwa di Jogjakarta saat ini hanya tersisa 1 Pabrik
pembuat becak, padahal dahulu di Jogjakarta sendiri ada 15an pabrik dan bengkel
becak (Sumber: JogjaTV). Tidak ada yang tau, sampai kapan becak di Jogjakarta
akan terus bertahan, setidaknya saat ini keberadaan becak masih bisa di temui
di daerah daerah wisata. Namun apakah becak tersebut bakalan masih akan terus
tetap ada beberapa tahun ke depan? Entahlah, hanya perkembangan Zaman yang bisa
menjawab.
Sekian tulisan random ini di buat, mohon maaf kalo topiknya
justru tentang hal hal yang menurut kalian kurang di anggep penting. Saya di
sini Cuma mau cerita dari pandangan pribadi saya tentang keberadaan becak
sebagai budaya kita yang semakin menghilang. Terima kasih :)
0 Komentar:
Posting Komentar